Saturday 19 June 2021

Rindu Ini Biarlah Tak Usai



Pendengaranku menagih suara yang paling ingin didengarnya; pujian kepada Muhammad Al-Musthofa..


Penglihatanku menagih pandangan yang paling ingin dilihatnya; akhlak menawan Kekasih Tuhan.

Langkah kaki ini meronta ingin menjejak ke tanahnya... Nabawi tercinta..

Kerinduan ini takkan ku obati, karena ia bukan penyakit. Melainkan nafas.. yang menggerakan raga dan ruh menujumu..

Maka aku mengerti... tentang sebuah pohon, atas kerinduannya, ia mampu berjalan menujumu, duhai Kekasih Tuhanku, demi menunaikan ibadah rindu.. demi berdekatan denganmu... demi menyampaikan salam kepadamu...

Ternyata rindu tak menyesakkan, 
bahkan ia menggerakkan..

Maka kerinduan ini takkan kuusaikan,
Takkan kutahan,
Takkan.

Kerinduan ini, biarlah jadi jalan yang terbentang, 
dan ku berjalan di atasnya. 
Kerinduan ini, biarlah jadi udara, yang aku hirup dan hidup di dalamnya.

Kerinduan ini biarlah tak usai,
Kerinduan ini takkan ku lerai,

Kerinduan ini biar jadi air dengan basahnya,
Seperti api dengan panasnya,
Seperti dingin dengan gigilnya,

Semoga kelak; seperti aku, padanya.. 

اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَ عَلَى آلِ سَيّدِنَا مُحَمَّد


Sunday 14 February 2021

Aku Si Orang Asing yang Dianggap Darah Daging

Nenek Uka Sukaesih (1914 - 2021)


Nek Uka, 

Aku? Bukan sesiapa beliau secara darah daging. Aku mengenalinya sebagai aku si orang asing. Namun cinta dan kedekatannya dengan Allah yang Maha Kasih, menyibakkan tabir dunia. Hari itu, ia memanggilku dengan matanya yang hangat, ia mengatakan bahwa ia mengenali siapa aku. Rasanya hidup seakan berhenti. Entah apa yang bisa kukatakan. Aku hanya terdiam, seperti sedang menyelam, di dalam tatapannya yang penuh pelukan dan sayang.

Hari dimana ia mengenaliku, adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku. Hari yang paling hangat dan membahagiakan. Ketika diri sendiri saja berlaku sebagai orang asing, ia datang dengan hati yang kasih dan memelukku, mengakuiku, mengenaliku, tanpa siapapun yang memberi tahu. 

Suatu waktu,
Saat aku berada dalam Goa Safarwadi, goa tempat kumpulnya para wali, aku bersholawat dengan bertawashul kepada Bunda Aisyah. Aku sampaikan salam dan rindu yang bertubi. Aku rindu berada di Raudhah dan berdekatan dengannya. Sekelebat bayangan wanita berkerudung putih terlihat nampak di hadapanku. Duduk, menunduk dan tersenyum. 

Mungkin hanya bayangan yang terpantul dari rasa dan pikirku. Mungkin hanya khayalku. Mungkin hanya rindu. 

Sepulang dari Goa, kami berjalan kaki menuju rumah Nenek, dengan hati yang masih dipenuhi bayangan wanita berkerudung putih itu. 

Ketika tiba di rumah Nenek,
Beliau memanggilku masuk ke dalam kamar. Senyum Nenek yang khas itu memintaku untuk mendekat. Lalu aku menghampirinya, meraih kemudian mencium tangan keriput yang tak pernah berhenti memetik dzikir itu. 

Nenek kemudian berbisik, "Ini ada kerudung putih, Nenek dapat dari orang yang baru pulang dari Madinah. Ini buatmu, Neng. Pakai ya.." 

Seketika itu juga bayangan di dalam Goa berkelebat lagi semakin nyata. Baru sedetik rasanya aku menganggap ia hanya halusinasi saja, namun sedetik kemudian Nenek seakan menjadi perantara yang meyakinkan bahwa setiap doa dan rindu, pasti dibalas nyata. 

Tangannya mengambil kerudung putih yang telah dilipat dan disiapkan di sampingnya. Ya Allah.. 

Beberapa bulan kemudian, Allah perkenankan aku kembali ke tanah cinta, Madinah Al-Munawwarah. Aku memakai kerudung putih dari Nenek, lalu menuju Raudhah Asy-Syarifah. Melunasi rindu, kepada wanita mulia berkerudung putih.. 

Kerudung darimu, Nek, sering aku pakai untuk bersholawat bersama teman-teman yang lain. Ia kerudung putih sederhana, tapi megah dengan cintanya. 

Nenek, di waktu lain, pernah memanggilku lagi ke kamarnya. Beliau memintaku tidur bersamanya. Aku gugup. Dan malu. Tapi Nenek yang mau. Maka aku beranikan diri. Ku gelar beberapa helai karpet di bawah ranjang tempat tidurnya. Melihat itu, Nenek menegurku dan memintaku untuk tidur bersama di kasurnya. Aku tak kuasa, aku memohon izin untuk tidur di bawahnya saja. Akhirnya Nenek mengizinkan, namun aku harus mau menerima bantal-bantal hangatnya. Kali ini aku tak menolak. Lalu Nenek bertanya, aku biasa bersholawat apa? Aku bilang aku biasa bersholawat dari kitab shalawat Dalail. Nenek ingin aku membaca untuknya. Dengan senang hati aku membaca di samping Nenek yang sedang rebahan karena merasa tidak enak badan seharian. Satu wirid shalawat berjumlah 5 lembar aku baca, dan luarbiasanya Nenek mengikuti bacaanku. MasyaAllah. 

Seusainya bershalawat Nenek bilang Nenek suka bacaan yang aku baca, "Tapi panjang ya.. Nenek mah yang pendek-pendek aja. Neng yang bagian panjangnya ya.." 

Saat tiba waktu istirahat, mataku sudah berat menahan kantuk, sayup-sayup aku melihat Nenek masih terjaga. Beliau terus merapal banyak doa. Bershalawat dengan lisannya. Dengan matanya. Dengan air matanya. Setiap satu jam sekali aku terbangun, dan masih saja Nenek terjaga duduk merunduk, dalam doanya yang semakin khusyuk. Hingga adzan subuh. 

Sungguh malam yang indah. Bisa bersama seorang wanita ahli ibadah. Bahkan dalam usianya yang melebih 1 abad. 

Aku suka kalau Nenek sudah bercerita.
Dua minggu yang lalu, ketika katanya Nenek tak lagi bisa diajak ngobrol nyambung, Nenek tetap hangat menyambutku. Kali ini dengan wajah sendu, Nenek bercerita. Akhir-akhir ini Nenek merasa sering sekali didatangi oleh Ayahnya Nenek, Aki Halek. Nenek bilang, beliau masih ada. Masih pulang pergi ke kebun dan masjid. Bahkan Nenek marah ketika orang-orang bilang Aki telah tiada sudah lama. Nenek tidak terima, Nenek yakin bahwa Aki masih ada. Hanya pergi sebentar. Nenek bilang, "Jangan bodohi aku bahwa Aki Halek sudah tiada. Dia masih ada. Jangan gak sopan dengan bilang Aki sudah ga ada. Dia masih ada." Nenek kemudian tergugu menangis. Aku tak pernah melihatmu sesedih itu, Nek. Aku pun tak berani mengatakan kenyataan bahwa Aki Halek memang sudah lama mendahului kami semua. Nenek seyakin itu, pastilah karena Nenek mengetahui dan merasakan apa yang tidak kami -orang-orang biasa- rasakan. 

Aku lama termenung mengingat Nenek yang tersedu. Apakah memang sebuah bentuk ketidaksopanan ketika kita mengaggap yang meninggal dunia itu tiada, padahal mereka ada? Apakah sebenarnya arti meninggal? Apakah sebenarnya arti ditinggal? Bagaimanakah merasakan 'ada' yang seperti 'tiada'? Ingin kutanyakan semua itu kepadamu, Nek. 

Kau sungguh berhati malaikat. 
Di usia senjamu memasuki 1 abad, aku tak merasa mengenalimu terlambat. Semua sudah ada waktunya. Semua hanya berjalan sesuai waktunya. Termasuk hari kemarin hari kepergianmu juga.. 

Belum sempat kutanyakan semua pertanyaanku, kau telah terlebih dahulu memenuhi panggilan Tuhanmu. Belum sempat kutanyakan, namun kabar kepergianmu seakan kau hadirkan sebagai jawaban. 

Nek, kini aku mencicipi apa itu rasanya ditinggalkan. 
Kini aku mengenali apa itu meninggalkan.
Kini aku belajar, merasakan kehadiran di tengah ketiadaan.
Kini aku tahu, kenapa kau merasa mereka yang tiada selalu ada, sebab bagimu semuanya senantiasa bersama, seperti juga dirimu dan cintamu, yang selalu ada. 

Bahkan kepada aku, seorang asing, 
yang kau anggap darah daging.


-
Nati
140221



Monday 8 February 2021

Kepada Bunda Khadijah Aku Datang


Duhai yang Allah dan Jibril kirimkan salam padanya,

Duhai yang menentramkan Baginda,

Duhai yang mendaki berkali-kali Goa Hira demi Cinta,

Duhai yang keridhoan suami jadi kejarannya,

Duhai yang menanti kehadiran Nabi jauh sebelum tiba,

Duhai yang menemani saat semua menyangsi,

Duhai yang membuat yakin saat Nabi tergoncang,

Duhai yang memberikan saat semua menahan,

Duhai yang menaungi saat semua terusir,

Duhai yang Baginda mendirikan tenda di sisi makamnya saat Fathu Makkah,

Duhai yang darinyalah Sang Kekasih mendapat keturunan,

Duhai yang pertama beriman,

Duhai yang pertama Rasul cari wajahnya setiap wahyu datang,

Duhai yang darinyalah permulaan Islam benderang,

Duhai yang Allah janjikan istana di surga tiada derita,

Duhai yang pada putrinya memohon dimintakan surban hijau suaminya, untuk tutupi jasadnya,

Duhai yang di akhir hayatnya hartanya tak bersisa

lalu menangis sebab tiada lagi yang dapat diberi pada Sang Dicinta,

Duhai yang berkata, ambilah tulang-tulangku agar kau jadikan apapun untuk dakwah Baginda


Duhai Bundaku yang mulia tiada ganti,

Duhai Bundaku penghulu wanita dunia akhirat,

Duhai Sayyidati Khadijah Al-Kubra


Bagaimanakah memenangkan cinta di atas segala, hingga tiada duka ataupun suka, yang kau kenali semua ini hanyalah tentang cinta..

Bagaimanakah memenangkan yakin di atas keraguan, hingga Nabi Akhir Zaman pun berdiri kokoh melanjutkan risalahnya tertopang olah keyakinan yang kau berikan,

Bagaimanakah menggadai dunia, dan kau kendarai ia?

Bagaimanakah duhai Bunda, kau dampingi Manusia Cinta, melainkan kau pun miliki samudera cinta terbentang dengan keimanan? 


Duhai Bunda,

Ini anandamu datang

Dengan keluh yang berharap dipenuh

Oleh kasih

Oleh sayang

Oleh nyaman

Oleh tenang

Dari keagunganmu, Duhai Al-Kubra


***

Janna Al-Ma'la - Makkah, 2019




Saturday 2 January 2021

Satu Senjakala di Masjid Baginda


Boleh aku rindu?
Pada suatu senjakala,
Di masjid baginda.

Langit biru,
Sepulang dari taman surga,
Seiring terhempasnya segala resah juga duka,

Kala itu,
Seorang perempuan memelukku,
Ketika sujudku makin terbenam,
Ketika tangisku pecah,

Senyumnya nan hangat dan berkata,
"Allah menyayangimu, anakku.
Ibu dan ayahmu di sini selalu bersamamu, anakku. Selagi kau tak putus asa, pertolonganNya selalu bersamamu."

Gemetar badanku tak lagi kuasa tertahan,
Tumpah di pelukan,
Terima kasih duhai Ibu kaum beriman,

Hingga hari ini,
Duhai diri,
Terima kasih 
atas segala pilihan untuk tidak putus asa,

Kau pegang janjinya,
Pertolongan Tuhan selalu ada,
Pada setiap hamba yang memilih menyambung asanya...

Duhai ibu,
Aku rindu.
Boleh aku sebut namamu?
Sebanyak rindu, sebanyak doa,
Sebanyak sabar yang terus dikuatkan.

اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَ عَلَى آلِ سَيّدِنَا مُحَمَّد


Monday 29 June 2020

Duhai Bunda Mulia, Bagaimana Cara Mencinta?

(Makam Bunda Khadijah Al-Kubra radhiyallahu 'anha di Jannatul Ma'laa, sebelum dipugar)

Duhai para Bundaku, Ummahatul Mukminin..
Duhai para Bundaku, Istri-istri mulia Baginda Rasul...

Sungguh tak mudah jadi dirimu,
menjadi Ibu bagi anak-anak yang tak lahir dari rahimmu, namun kau harus tetap rahim kepada mereka satu per satu. 
Bagaimanakah membangun ikatan erat, dan kasih yang melekat?
Bagaimanakah mencintai dengan semesta, kepada mereka yang bukan darah daging kita?
Bagaimanakah selalu mengasihi dan mengayomi, dengan menyimpan keluh kesah diri, kepada mereka yang harapkan kesantunan hati?

Sungguh mulia menjadi dirimu,
Kau simpan ego diri, kau jadikan semuanya sebagai ladang kebaikan.
Kesantunanmu melampaui darah, daging, nasab, usia, pria, wanita, dan zaman.

Sungguh kokoh ucapanmu duhai Bunda Khadijah, "Sejak aku menikah dengan Rasulullah, tak lagi ku memikirkan bagaimana aku bahagia. Namun aku sibuk berpikir, bagaimana agar Rasulullah bahagia karenaku."

Bunda.. bagaimana hal itu bisa? Sedangkan kecenderungan manusia selalu ingin menuntut bahagia. Dan kau, ya Bunda.. bagimu bahagianya Yang Dicinta adalah segala-galanya.. 

Sungguh hangat jawabanmu duhai Bunda Aisyah, saat sahabat malu-malu bertanya kepadamu, kau rangkul ia dengan sambutan keibuanmu, "Tanyakanlah apapun, seperti kau tanyakan apapun kepada ibumu. Karena aku ibumu."

Duhai..
Kemanakankah ego diri yang ingin bahagia sendiri. Bagaimanakah kalian melahirkan kasih sayang, cinta yang menyemesta itu? Kami bukan anak-anak yang lahir dari rahimmu, namun cintamu, kasihmu, perhatianmu, teladanmu, menembus zaman dan juga batas diri.

Di hadapan kalian duhai Para Bunda, 
Seakan hancur teori bahwa ikatan ibu dan anak lahir dari bonding di dalam rahim, air susu yang mengalir, sentuhan kulit ibu dan anak, dan juga kebersamaan di masa-masa usia emas.

Kembali aku menggugat tanya..
Bagaimana bisa, mendadak mencinta? Kepada anak-anak yang bukan darahdaging kita?

Maka tersadarlah,

Orang yang tak pernah dicinta, takkan bisa mencinta.

Dan kau para bundaku yang mulia, 
Kalianlah jiwa-jiwa yang paling beruntung di muka dunia, dipilih oleh Nabi AlMusthofa, dicinta dan dibina di bilik-bilik rumah tangga penuh cinta.

Berhentilah semua gugat tanya,

Sebab cinta para bunda, berasal dari jiwa penuh cinta yang selalu lekat dengan Nabi penuh cinta, Nabi Muhammad Al-Musthofa.

Maka aku yang ada di penghujung zaman ini,
Yang berada di jauhnya masa dengan Sang Nabi,
Yang terhijab oleh milyaran ego diri,

Hanya mampu memohon belas kasih,
Kiranya Kekasih Tuhanku berkati sifat rahim.
Hingga ummatmu duhai Nabiku, tak kusapa dan kubalas sikapnya, kecuali dengan cinta kasih, sebagaimana para Bundaku kepada kami anandanya..


.اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَ عَلَى آلِ سَيّدِنَا مُحَمَّد
.
***
Natisa
7 Dzul Qo'dah 1441 H


Wednesday 15 April 2020

Menulis Lirik Baru Sayyidah Aisyah

Udah pada nyimak Lagu Aisyah Istri Rasulullah yang booming itu? 

Izinkan saya, Nati Sajidah, sedikit bercerita. 

Saat lagu Aisyah Istri Rasululllah muncul ke permukaan, saya berusaha menahan diri dari berkomentar di social media. Saya sibukkan diri dengan mengulang membaca kitab2 sirah beliau; Tafsir Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, 'Aisyah Ummul Mukminin Syekh Ramadhan Al-Buthi & Syekh Sulaiman AnNadawi, dll. Semakin membacanya, yang kian nyata adalah sesosok yang penuh cahaya ilmu, terbimbing oleh luhungnya didikan Nabawi. 

Maka saya berdoa, semoga Allah dan RasulNya tunjukkan jalan untuk mencintai Bunda Aisyah dengan jalan yang Allah ridhai. 

Datanglah hari itu. Sudah sebulanan kami tidak saling kontak karena kesibukan masing-masing, tiba-tiba Alfina Nindiyani, pelantun shalawat bersuara syahdu, menyapaku di Whatsapp. Ternyata dia satu-satunya, mungkin, pelantun Shalawat yang belum ikut cover lagu booming ini. Karena dia juga merasakan keresahan yang sama. Lalu tanpa diduga dia mengajukan permintaan, "Teh, Nindi diminta cover lagu ini. Nindi baru mau bawain kalau liriknya diubah. Teh Nati bantuin Nindi ya bikin lirik barunya.." 

Maka Allah menggerakkan tangan ini menulis lirik baru dari lagu (Sayyidah) 'Aisyah Istri Rasulullah, di bawah bimbingan Sang Guru, dan dibawakan dengan syahdu oleh Dek Nindi. Dua bait terakhir hadir di last minutes syair ini akan dinyanyikan, membuat Nindi berulang kali gagal menyanyikannya, karena tak kuat menahan rindu yang luar biasa kepada junjunan kami, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga Allah yang Maha Sempurna mengampuni kelemahan dan kekhilafan saya. Semoga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam dan istri tercintanya, Bunda Aisyah radhiyallahu 'anha, ridha dan menerima. 



Jibril berkata pada Nabi
Kaulah istrinya dunia dan akhirat
Siti Aisyah, putri Abu Bakar
Kecintaan Rasul
Sungguh cinta Nabi membuatmu
Jadi mulia penuh kasih penuh ilmu
Kau sampaikan, hadits-hadits Nabi
Di tanah Nabawi
Sayyidah,
Betapa mulianya Quran sucikanmu
Dengan Baginda kau dididik jadi ulama
Selalu bersama, hingga ujung nafas
Kau di samping Rasulullah
 
Sayyidah,
Sungguh mulya oh sirah cahya ilmumu
Di balik hijab sahabat bertanya padamu
 
Kau istri tercinta
Ya Sayyidah Aisyah
Rasul sayang dan agungkan..
 
Sungguh lembut hati sifatmu
Bila derma kau brikan seluruh hartamu
Siang hari, selalu berpuasa
Malam kau terjaga
Sayyidah,
 
Betapa mulianya quran sucikanmu
Dengan Baginda kau dididik jadi ulama
Selalu bersama, hingga ujung nafas
Kau di samping Rasulullah
 
Sayyidah,
Sungguh merindu hati ini pada Nabi
Beri kami hadits penawar rindu ini
 
Kau istri tercinta
Ya Sayyidah Ya Ummana
 
Reff
Sayyidah,
Betapa mulianya quran sucikanmu
Dengan Baginda kau dididik jadi ulama
Selalu bersama, hingga ujung nafas
Kau di samping Rasulullah
 
Sayyidah,
Sungguh merindu hati ini pada Nabi
Beri kami hadits penawar rindu ini
Kau istri tercinta
Ya Sayyidah Ya Ummana
Salam tuk Baginda Nabi
Allahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad...

Guruku berkata, kita memuji beliau bukan agar mendapatkan pujian. Namun kita memujinya, karena kita cinta. 

Duhai Bunda, semoga kau berkenan menerima cinta sederhana ini. 
Dari anandamu, Natisa.

***
Natisa,
Sya'ban 1441 H


Thursday 2 April 2020

Duka yang Jadi Kendaraan Menuju Manusia Cinta

Kepadamu yang menggelayutkan pilu di langitnya doa,
Kepadamu yang membenamkan hasrat di embusan harap,
Kepadamu yang menerbangkan sesak dada di semesta..

Sungguh kau dicintai
Bukan oleh manusia biasa, 
yang tak mampu mengukur pengabdianmu
Namun kau dicintai
Olehnya, yang kepadanya cinta selalu berbalas tak pernah sederhana.

Kau tahu,
Di Madinah kala itu, 
setiap yang sedang kesulitan dan tercekik permasalahan, mereka datang kepada Manusia Cinta, Nabi Muhammad Al-Musthofa. 
Mengadukan dan berharap didedah ketersesakkan.
Mengadukan dan berharap pulang dengan kerelaan.

Dan mereka mendapatkan, bahkan lebih dari yang diinginkan. Mereka kembali dengan hati yang penuh dan teduh.

Sebatang pohon kurma usang di pojokan Raudhah pun menangis menjerit mengadu padanya.
Kau tahu,
Lengkingan tangisnya mereda, ketika tangan yang mulia membelai dengan seutuh cinta.
Ia berkata, 
Apakah kau mau terus menangis hingga hari kiamat tiba? Atau kau pilih berhenti dan bisa bersamaku nanti di surga? 

Duhai, meredalah tangisan si batang pohon kurma itu. 

Ia memilih menerima ketetapan Tuhannya, agar dapat terus bersama dengan Kekasih Allah hingga di Nirwana. 

Maka ku saksikan. 
Segala duka yang kau terima, kemudian kau bawa mengadu dalam balutan shalawat untuk Kekasih Allah yang Mulia, itulah kendaraanmu.. 
menuju yang kau rindu, yang cinta kepadanya, 
selalu berbalas tak pernah sederhana.


-
Nati Sajidah
Sya'ban 1441 H